Minggu, 02 Mei 2010

Kebencian Terhadap Sang Pentolan

Guntur dibawa ke rumah sakit. Kemudian dokter segera menangani Guntur.
“hah… untung saja kalian cepat membawanya kemari. Kalau ga terpaksa dia harus dibawa ke UGD. Karena dia terserang demam tinggi. Mungkin dia kecapean kali ya, makanya dia harus banyak istirahat. Jangan bebani dia dengan pikiran macam-macam, oke?” terang dokter. Merekapun mengangguk.
Saat pulang, Nugra sempat melongok ke kamar sebelah Guntur diperiksa.
Itu kayak Susan… batin Nugra, kemudian memanggil Rere dan Juan.
“ada apaan sih, nug?” tanya Juan.
“liat, deh.” Tunjuk Juan ke kamar no 102. Rere dan Juan terkejut. “itu Susan, kan?” tanya Juan.
“masuk, yuk. Kalo ditanya bilang aja anak OSIS.” Saran Nugra.
Saat mereka memasuki ruang tersebut.
“Susan, ya?” tanya Nugra basa-basi. Yang ditanya pun mengangguk lemah. “kamu kenal saya?” tanyanya lemah.
“gue Nugra, anak OSIS. Gue tau lu wakil ketua OSIS tahun inikan gantiin Safanah?” tanya Nugra basa-basi.
“ee… maaf ya, Rere. Sudah dua minggu ini aku ga masuk… pasti kalian semua kelimpungan ya ngurusin lomba bulan bahasa… maaf ya. Aku juga bener-bener utang budi sama Juan karena selama ini dia yang jadi seksi repot… aku bener-bener minta maaf…” ujar Susan terbata-bata. Oh, ternyata Susan kenal sama Rere.
“aku juga sudah tau dari anak-anak XI-2 IPA yang kemarin menjengukku… katanya Aldo ga pernah ikut rapat ya?... insya Allah kalo aku udah keluar dari rumah sakit aku bakalan bantu kalian…” janji susan.
“udah, san. Mendingan sekarang lu banyak-banyak istirahat. Kita gak pa-pa kok kerja segini aja orangnya. Yang penting lu tuh harus bener-bener sehat kalo mau ikut rapat OSIS soalnya kita tuh bener-bener dikejar deadline…” terang Rere disertai anggukan Juan.
“mm… ya sudah kalo begitu. Kita pamit dulu ya…” pamit Nugra.
******
Semenjak kejadian di ruangan pak Bimo, Aldo jadi membenci Novita. Kenapa? Dirinya merasa terhina oleh perkataan Novita tentang dirinya. Ia kini juga membenci pak Bimo, karena dia satu-satunya guru yang berani menanyakan perihal tempur kepada dirinya. Kepala Sekolah saja ga pernah nanya gituan ke dia?
“kayaknya yang namanya Novita itu harus dikasih pelajaran…” gumam Aldo pada saat mereka sedang nongkrong di sebuah Caffe ternama di daerah Jakarta itu.
“Novita anak OSIS kan? Yang sok tahu itu?” tebak Wima.
“bukan sok tahu aja, tapi sotoy blagu nyolot ngocol ngefuck juga tuh cewe! Apalagi kemaren dia berani jelek-jelekin gue didepan pak Bimo. Udah gitu kayaknya pak Bimo malah belain Novita daripada gue?” cerita Aldo pada Wima dan kawan-kawan.
“Novita mau dikasih pelajaran apaan chuy?” tanya Dika. Aldo pun memutar otaknya.
“gue tahu…” gumam Aldo. Mereka jadi penasaran. Akhirnya, Aldo menceritakan apa rencananya kepada Novita itu.
“hahaha!” tawa mereka setelah mendengar rencana Aldo.
******
Saat itu Novita sedang membaca buku bahasa Prancis didalam kelas. Tiba-tiba, segerombolan Aldo and the genk memasuki kelasnya, XI-5 SBI. Anak-anak yang berada dikelaspun terkejut dan berhamburan keluar. Hanya ada beberapa yang tinggal di kelas seperti Jasmine, dan Ade yang sedang mampir karena dia kelas XI-7 SBI.
“mau apa lo?!” tanya Novita sinis terhadap Aldo and the genk. Mereka pun tertawa.
“jangan bikin mood gue pagi ini jadi ilang ya!” bentak Novita lagi.
“oh, lo berani sama gue…” gumam Aldo, kemudian ia menyuruh Wima dan Joni menarik Novita keluar. “eh, iket ya di tiang bendera!” perintah Aldo. “beres!!”
“apa?! Heh lepasin temen gue!!!” teriak Jasmine dan Ade. Dika pun menutup mulut mereka.
“bacot dah lu berdua!! Lu mau nasib lu sama kaya temen lu itu?!” ancam Dika.
Ade segera keluar namun dicegat oleh Aldo. Kemudian, Ade didorong ke depan tembok sehingga mukanya sedikit memar.
“jangan coba-coba ngadu ya! Muka lo kaya pembantu aja ga usah sok deh!!” maki Aldo.
“Jasmine! Gimana nih?!” tanya Ade panic. Jasmine hanya berdoa saja kepada Allah.
“terus aja berdoa, terus minta sama Tuhan semoga nyawa temen lo selamat ya, hahaha!!” ujar mereka berempat.
“keterlaluan!” ujar Jasmine. “nov, tunggu gue sama Ade ya. Kita pasti tolong lo!” batin Jasmine.
Untung saja, Sheila –teman sebangku Nanza yang sempat didorong oleh Dika- melihat kejadian itu dari kaca dan menceritakannya kepada Nanza sehingga ia tetap bisa mengadukannya kepada orang lain.
“Akhyaaaaar, Novitaaa!!!” teriak Nanza dari kelas XI-3 IPS. Akhyar pun langsung keluar.
“kenapa Novita, nan?” tanya Akhyar sedikit bingung. Nanza pun menceritakan semua kejadiannya kepada Akhyar.
“ayo kita kelapangan!” ajak Akhyar. “tunggu! Gue ikut!” tiba-tiba Azka muncul dibelakang mereka. Mereka bertiga kemudian menuju lapangan.
Saat di lapangan, Novita sudah menjerit menangis meminta pertolongan. Lihat saja, sepatu sudah digantung. Dia hanya beralas kaus kaki saja. dirinya diikat di tiang bendera. Bener-bener keterlaluan deh Aldo itu… masa cewe disiksa kaya gitu…?
“LEPASIN NOVITA TEMEN GUE!” pinta Akhyar. Nanza dan Azka sudah bersiap-siap dengan ‘senjata’ yang mereka bawa seperti sapu dan ember kelas. Buat jaga-jaga…
“Akhyaaaaaaaarr…!!!!!” teriak Novita. Akhyar kemudian mengeluarkan ponselnya kemudian mengirim SMS kepada Rere dan Juan meminta pertolongan agar segera memanggil pak Bimo.
Dikelas Rere…
“si Aldo nyari gara-gara lagi! Kali ini Novita yang jadi korban!” terang Rere kepada Riyan –lagi mampir juga ke kelas IPA- . “mendingan sekarang kita ke ruangan pak Bimo, yan!” pinta Rere. Riyan pun mengangguk.
“re, lu juga dikabarin sama Akhyar?” Juan bertemu Rere didepan pintu ruangan pak Bimo. Rere mengangguk. Tetapi saat mereka masuk, pak Bimo ga ada di ruangan!
“oiya… pagi inikan guru-guru rapat di departemen pendidikan…” terang Riyan. Semuanya kembali menarik nafas dalam-dalam. “kayaknya kita harus bertindak sendiri deh dengan kemampuan yang kita punya…” saran Juan. Rere mengangguk setuju. Lalu kemudian mereka pergi ke lapangan.
“lho, re? kemana pak Bimo?” tanya Akhyar. Rere menggeleng. “ga ada. Beliau lagi rapat di departemen pendidikan. Kita harus lawan sendiri kayaknya…” cerita Rere.
“ALDO!” panggil Rere sedikit keras. Kemudian Aldo menoleh.
“ada apa, re? oh… gue lupa. Novita juga salah satu teman baik lo ya? Lo mau dia bebas?” tanya Aldo.
“do lepasin Novita apa emang dia punya dosa apa sama lo?!?!” bentak Rere.
“banyaaak… gue tau dia suka jelek-jelekin gue dibelakang public… makanya dia gue giniin. Imbas kan?”
“ya nggaklah cara lo tuh gak lucu main iket anak orang aja ditiang bendera!! Emang lo pikir lo siapa?! Emang disini kuasa lo gede tapi jangan siapa aja lo giniin dong kemaren lo udah bikin temen gue sakit parah!? Sekarang…” Rere tak bisa melanjutkan kata-katanya keran dibelakangnya sudah ada pak Bimo! Yippie!
“pak… pak… pak Bimo?!” tanya Rere kaget.
“ya, pak Bimo. Tadi bapak sengaja datang telat buat menghadiri rapat di departemen pendidikan. Cuma, untung saja Ade punya otak yang cukup jitu. Dia mengejar mobil bapak dengan speda motor entah punya siapa apa mungkin punya mang Ujo yang dia pinjam. Dia sudah menceritakan semuanya kepada bapak.” Terang pak Bimo.
“ta… tapi… rapatnya…?” tanya Rere bingung.
“bapak tidak akan menghadiri rapat. Bapak sudah izin kepada kepala sekolah. Ada tugas yang lebih penting lagi ketimbang menghadiri rapat…” semua anak bersorak kegirangan.
“HIDUP PAK BIMO!!!” teriak anak-anak IPS yang laki-laki. Pak Bimo lalu melepaskan ikatan yang mengikat badan Novita.
“Wima! Joni! Dika! Orangtua kalian belum menghadap bapak tapi kalian sudah buat ulah lagi!!” tegur pak Bimo.
“ampun… kena lagi, deh!” keluh Wima berbarengan dengan Joni dan Dika.
******
“tindakan Aldo pengen gue laporin ke bokap gue!!” gerutu Novita. Jasmine terkejut mendengarnya.
“janganlah, nov. malah nambah masalah aja lagi. Bokap lo yang pengacara nanti malah bisa tempur media sama eyangnya Aldo. Lo lupa keluarga aldo keluarga apa? Mereka bukan keluarga biasa kali, nov…” terang Jasmine.
“tapi inikan udah tindakan asusila remaja!” protes Novita.
“iya gue tau. Biasanya keluarga kaya Aldo itu beraninya nyogok pake duit. Nanti siapa tau aja bokap lo disogok gitu sama eyangnya supaya cabut gugatan lo ke Aldo gitu…” terang Jasmine sekali lagi. Paham juga ya dia tentang politik, maklum bokapnya kan politikus.
“ng… iya juga si…” Novita membatalkan rencananya mengadukan tindakan Aldo kepada papanya.
Sementara Juan di kelas yang ternyata jam kosong sedang sibuk mempersiapkan acara bulan bahasa. Maklum tinggal seminggu lagi.
“ga kerasa ya bulan bahasa tinggal seminggu lagi. Padahal, panggung aja belum didekor!” cerita Juan kepada Alfin anak OSIS juga. Alfin lagi bantuin Juan nyiapin persiapan acara bulan bahasa, soalnya dia kelas XI-3 IPS bukan XI-1 IPS sama Juan.
“iya juga sih. Padahal, abis ini kita juga harus deadline lagi buat acara tujuh belasan!” tambah Alfin. Mendengar itu Juan langsung lemas.
“alamak… acara tujuh belasan ya? Aduh… padahal dulu waktu SMP gue jadi ketua OSIS ga sampe pusing segininya… ahh.” Juan merebahkan dirinya ke senderan kursi.
“sabar ya, ju. Gua pasti bantuin lah. Inget dong motto OSIS yang baru angkatan kita ini, KAMI ANAK OSIS GA TAKUT MATI HANYA KARENA DEADLINE, KALO TAKUT MATI KARENA DEADLINE PILIH MASIH MAU JADI OSIS APA MASIH MAU HIDUP, gitu… itu motto bukan buatan anak OSIS sih. Anak genk rasta yang bikin…” cerita Alfin yang salah satu anggota genk rasta.
“hmm… pantesan ada kata ‘ga takut mati’nya sih…” komen Juan. “tapi bagus juga!” tambahnya. Kemudian mereka berdua kembali tertawa.
“ah udah jangan ketawa mulu ayo lanjutin nanti kaga kelar-kelar lagi?” pinta Juan kemudian ia kembali konsentrasi pada laptopnya. Begitu juga dengan Alfin.
Sementara dikelas Rere disibukkan dengan berbagai macam rangkaian kegiatan OSIS.
“woi anak OSIS kerja apa bantuin gua…” pinta Rere memelas. Meta, Tio dan Valco menghampirinya.
“pada bawa laptop kan?” tanya Rere. Mereka mengangguk. Lalu Rere ‘mentransfer’ tugas apa yang akan diberikan kepada mereka bertiga.
Tiga jam kemudian…
“oiya, bulan bahasa kan seminggu lagi ya?” tanya Meta. “pantesan lu kaya orang kelimpungan gitu bikin proposal, hehe…” ledeknya. Rere hanya nyengir puas aja.
“kemaren kata pak Bimo sih biarin aja Aldo ga kerja, mendingan yang ada ajak kerja aja makanya gue ajak lu pada. Daripada ngurusin Aldo buang-buang waktu aja malah bikin cape doang. Ya gak?” mereka mengangguk setuju dengan ucapan Rere.
Kemudian Azka berlari menghampiri kelas Rere.
“Rere, nih laporan yang lu minta udah jadi. Sekarang tinggal diserahin aja ke Kepsek?” ucap Azka. Rere memeriksa hasil kerjaan Azka kemudian tersenyum puas. “oke dah. Thank’s ya mbah!”
“oke deh sip. Udah ya gue balik dulu ke kelas gue mau belajar fisika, oke. Bye!” Azka langsung balik lagi menuju kelas.
“demi berjalan lancarnya acara, Azka sampe rela bolak-balik naik-turun tangga nyamperin lu Cuma buat nyerahin laporan? Solidaritas anak OSIS ini yang bikin gue tambah bangga sama angkatan kita…” ujar Tio. Valco mengangguk setuju.
Kemudian, Ade menghampiri Rere menyerahkan laporan keuangan untuk OSIS.
“nih, re! semuanya udah rapi. Tinggal diserahin aja ke kepsek! Oiya, pesen Novita, Jasmine, sama pak Bimo. Lu, Juan sama Nugra ga usah terlalu sibuk ngurusin bulan bahasa nanti pelajaran keteteran ntar lu pada malah kecapean?” saran Ade.
“beres, de! Tenang aja lagian liat apa muka gua masih seger begini?”
“ah lu, re. terlalu menyepelekan kesehatan sama kaya Juan. Kesehatan jangan terlalu disepelein. Kan kalo kecil ditumbuk terus lama-lama jadi gede? Ya gak?”
“iye…iye gue ngerti!”
“yaudah kalo ngerti gue balik ke kelas dulu, ya! Ada pelajaran bahasa Inggris abis ini chuy!” Ade segera berlari menuju kelasnya. Lalu, Meta dan Valco mengacungkan jempolnya kepada Rere dan tindakan Ade barusan.
“bener kata Ade. Lu jangan ampe kecapean gara-gara ngurusin bulan bahasa!” saran Meta.
“iya, gue juga tau. Udah dua laporan jadi masih ada lima laporan lagi. Plus tiga laporan yang lu bertiga buat. Jadi masih ada delapan laporan lagi. Lima Laporan lagi dari Riyan, Nugra, Sasha, Iqbal sama Luthfi… hm… Sasha kelas IPA apa ya?”
“Sasha kelas XI-4 IPA? Tetangga kita!” ujar Valco. Rere pun nyengir.
“laporan kita-kita ini tinggal di print aja kan? Sini gue masukin flash disk abis itu gue bawa ke ruang IT ok?” tawar Meta.
******
“mau dibawa kemana… hubungan kita…” anak-anak geng rasta lagi nyanyi tuh lagi nongkrong di warung depan sekolah. Meski sekolah ditempat yang cukup elit, mereka ga segan nongkrong di warung jalanan, warung kopi ataupun warteg sekalipun.
“anak rasta jangan malu nongkrong di warteg.” Komen Luthfi suatu ketika begitu ditanya kenapa dia dan teman-temannya lebih suka nongkrong di warteg.
“eh, fin. Gimana bulan bahasa? Lu kan OSIS?” tanya Marendra suatu ketika. Cowo bertubuh jangkung itu memang paling perhatian kalo ada acara disekolah.
“lancar sih Alhamdulillah. Cuma gue kesian aja ngeliat seksi repotnya kaya Juan sama Rere sama Nugra. Lagian, siapa sih yang nyalonin aldo jadi ketua OSIS?! Lu pada jujur ya waktu itu nyontreng sapa?! Gue sih emang nyontreng Juan waktu itu sama Rere. Biar kaya kita SMP dulu hehe…” aku Alfin.
“gue? Jasmine sama Susan. Gue asal nyontreng aje?” ucap Bahardika anak berwajah item itu.
“kalo gue mah Rere sama Nugra!!!” ujar Marendra. “sama dong, mar. lu nyontek ya?” ucap Luthfi. Marendra langsung menjitaknya. “lu kali!!” protesnya.
“kalo lu nyontreng sapa, yon?” tanya Alfin pada Oyon, anak rasta yang paling autis menurut mereka.
“aaa… gue sih nyontreng RERE SAMA JUAN!!” girangnya.
“sama kaya gue, monyong!!” ujar Alfin kepada Oyon. Lalu Alfin pergi sebentar membeli sebungkus gorengan.
“SOLIDARITAS ANAK RASTA!!” jerit Marendra dan Oyon. Alfin pun terkejut. “apaan?”
Marendra segera merebut gorengan yang dibeli Alfin, tetapi dia mengelak.
“enak aja! Beli sendiri Cuma dua ribu perak ini!? Lagian gue laper nih!” protes Alfin.
“lu jangan terlalu menyepelekan berapa besar duit itu, fin. Kita harus menghargai berapapun yang diberikan orangtua kita meskipun itu Cuma dua ribu perak!!” ujar Bahardika seperti politisi.
“gaya lu! Sejak kapan lu mulai menghargai duit dan sejak kapan lu nurut ama orangtua?!” protes Alfin lagi.
“udah, ga usah bertengkar. Gue udah beli kok?” lerai Marendra. Oyon mengangguk setuju. Kemudian, Bahardika melirik Oyon.
“yon, solidaritas… hehe…” ujar Bahardika sambil nyengir.
“alah!! Bilang aja lu mau kaga usah pake solidaritas-solidaritasan segala!” tebak Oyon.
Akhirnya, Bahar tidak jadi meminta gorengan kepada Oyon. Ia mengambil hape esianya dan menyetel lagu rekaman.
“geregetan… jadinya geregetan apa yang harus kulakukan…” Bahar menyanyi. Marendra, Oyon, Luthfi dan Alfin pun ikutan. Saat itu Aldo and the genk melewati mereka, lalu mencibirnya.
“yah, hari gene masih jamannya pake esia?” cibir Aldo dengan maksud menghina. Dibilang seperti itu, Bahar cs. pun berhenti menyanyi. Kemudian, satu-satu memamerkan hape canggihnya.
“BlackBerry dong!!” pamer Wima.
“iPhone nih!!!!” pamer Dika dan Joni. Kemudian, Luthfi membalasnya.
“eh, emang lu doang apa yang punya BB?! Gue juga kaleee?” Bahar, Marendra, Alfin dan Oyon pun terkejut. “kapan lu beli BB?!” bisik mereka berempat.
“halah, BB lo seri apa sih gue tanya?!” tanya Wima sinis.
“BB gue ya… Buatan Bakrie!!” ledek Luthfi. “hah??? Buatan Bakrie maksud lu esia, luth?!” tanya Alfin. Luthfi mengangguk akhirnya mereka berlima ketawa ngakak.
“hah dasar anak-anak alayers!” cibir Aldo sekali lagi. Mereka berlima langsung berhenti tertawa.
Saat Aldo cs. pergi, barulah mereka semua berani menggerutu.
“huh! Dasar orang sombong baru punya BB sama iPhone aja udah bangga nyadar dong dia beli barang mahal itu pake duit siapa heh?!” gerutu Marendra.
“kok lu yang sewot mereka emang belinya pake duit lo apa?” tanya Alfin.
“ya maksud gue diakan belinya pake duit orangtua apa juga yang harus disombongin?!” terang Marendra. Oyon mengangguk setuju.
“udahlah. Orang sombong kaya mereka pasti dapet balesannya dari yang diatas…” ujar Bahar sambil menunjuk keatas. Tetapi, seorang satpam yang sedang membetulkan antenna sekolah langsung protes.
“hei! Maksud kamu apa heh saya ga mungkin membalas perbuatannya den Aldo dan teman-temannya kamu tuh kalo ngomong jangan ngasal yaa!!!” omel bang Ujo alias satpam sekolah.
“yaelah, bang. Maksud saya yang diatas itu bukan bang Ujo, tapi Allah tau!! Pede gila sih!!” balas Bahar membela diri. Tetapi, karena bang Ujo udah terlanjur kesel makanya mereka semua memutuskan untuk pergi daripada kena serangan dari bang Ujo. Halah…
******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar